AS-SUNNAH DAN MACAM-MACAMNYA
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah “Ushul Fiqh”
Dosen Pengampu : Drs. H. Musnad Rozin, MH
Disusun Oleh:
PUTRI DWIDIWANTI (13103884)
JURUSAN SYARI’AH
PRODI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TAHUN AJARAN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat rahmatnya berupa kekuatan
lahir maupun batin serta jalan semangat pada penyusun sehingga dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah “Ushul Fiqh”. Materi yang dibahas dalam makalah ini adalah “As-Sunnah dan Macam-Macamnya”.
Tak ada gading yang tak retak, sebagai
manusia yang terbatas kemempuannya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Maka dengan kerendahan hati, dimohon kritik dan saran demi kesempurnaan yang
diharapkan dari makalah ini, dan akhir kata semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Metro, Desember 2014
Putri Dwidiwanti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sunnah............................................................................................. 2
2.2 Macam-Macam Sunnah...................................................................................... 3
2.2.1 Sunnah yang berupa ucapan
(Qauliyah)................................................... 3
2.2.2 Sunnah yang berupa perbuatan (Fi’liyah)................................................ 6
2.2.3 Sunnah Taqririyah.................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang
Sunnah artinya menurut bahasa
adalah, kelakuan, perjalanan, pekerjaan. Sunnah menurut istilah ahli Ushul Fiqh
adalah ucapan Nabi dan perbuatanya dan takrirnya.
Sunnah dapat dijadikan Hujah (yakni
sebagai sumber hukum kedua dalam Islam sesudah Al Quran, dengan alasan firman
Allah yang berbunyi :
Artinya : “Dan apa-apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.”
Kedudukan
Sunnah dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam,
menurut Jumhur ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Alqur’an. Menurut petunjuk Alqur’an, Sunnah Nabi adalah sumber ajaran Islam di samping
Alqur’an. Ini berarti, untuk mengetahui ajaran Islam yang benar,
maka di samping petunjuk Alqur’an juga diperlukan petunjuk Sunnh. Mencermati hal
tersebut, maka dalam konteks ini akan dibahas mengenai macam-macam sunnah.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa itu sunnah ?
2.
Apa saja macam-macam Sunnah ?
BAB II
PEMBASAN
2.1 PENGERTIAN SUNNAH
Bila
kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syara’, maka
yang dimaksud tidak lain kecuali segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang,
atau dianjrkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapannya.
Ahli Ushul mengatakan sunnah adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungn dengan hukum syara’, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Arti sunnah juga ditunjukkna
dalam Al Quran, misalnya dalam surat al-Isra (17): 77 dan surat al-Hasyr (59):7
Allah berfirman :
Artinya : “(kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami
yang Kami utus sebelum kamu[864] dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi
ketetapan Kami itu.” (QS. Al-Isra
(17):77)
Artinya : “apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk
rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya
saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. al-Hasyr (59):7)
Seperti halnya Al Quran, sunnah pun dalam
penerapannya menganut prinsip-prinsip tidak menyulitkan, menyedikitkan tuntunan
atau pembebanan, bertahap dalam penerapan dan sejalan dengan kemaslahatan
manusia.
2.2 MACAM-MACAM SUNNAH
Berdasarkan pengertian sunnah diatas, maka sunnah
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
2.2.1
Sunnah yang Berupa Ucapan (Qauliyah)
Segala perkataan Nabi yang berkenaan dengan ibadah maupun
kehidupan kehidupan sehari-hari disebut dengan sunnah qawliyah, yaitu segala
bentuk perkataan itu berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syara’,
peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek ibadah,
syari’ah maupun akhlak. Sunnah qauliyah adalah hadis Nabi yang disabdakan
sesuai dengan tujuan dan kondisi.[1]
Seperti sabda beliau: Laa dharara walaa dhiraara (tidak boleh berbuat suatu
yang membahayakan juga tidak boleh membalas dengan sesuatu yang membahayakan),
Fis saa-imati zakatun (Pada binatang yang digembalakan itu ada kewajiban
zakat), dan sabda beliau tentang laut Hua ath thahuuru maa-uhu al hillu
maytatuhu (air laut itu suci dan halal bangkainya), dan lain-lain. Contohnya
adalah sabda Rasulullah tentang do’a Rasul yang ditujukan kepad yang mendengar,
menghafal, dan menyampaikan ilmu, yang berbunyi :
نضر الله
امْرَأ سَمعَ مِنّا حديثا فحفظه حتى نبلغه غيره فإنه رب حا مل فقه ليس بفقيه ورب
حامل فقه إلى من هو أفقه منه ثلاث خصا ل لانغل عليهن قلب مسلم أبدا إخلاص العمل
لله ومنا صحة ولاَة الأمر ولزم الجماعة فإن دعوتهم تحيط من ورائهم (رواه احمد)
Artinya :“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang
mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafalkan dan menyampaikannya kepada
orang lain, karena banyak orang bicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya.
Ada tiga sifat yang karenanya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang
muslim, yaitu ikhlas beramal semata-mata kepada Allah SWT., menasehati taat dan
patuh kepada pihak penguasa; dan setia terhadap jama’ah. Karena sesungguhnya do’a mereka akan memberikan
motivasi (dan menjaganya) dari belakang”. (HR. Ahmad)[2]
Periwayatan sunnah secara qawliyah oleh Nabi dilakukan
dengan beberapa cara. Pertama, sabda Nabi disampaikan di hadapan orang
banyak, baik melalui majelis ilm, khatbah, ceramah, dan sebagainya. Sunnah
disampaikan secara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki,
melalui pengajian rutin di kalangan mereka, dan juga melalui pengajian di
kalangan wanita.[3]
Kedua,
sabda Nabi dikemukakan didepan seorang
atau beberapa orang saja. Sunnah qawliyah disampaikan oleh Nabi di depan salah
seorang sahabat baik yang berisi jawaban atas pertanyaan yang dilakukan sahabat
itu maupun tidak. Misalnya, ada seorang wanita yang bertanya kepada Nabi
tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita
itu untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi belum mengetahui bagaimana cara
mandi itu. Maka Nabi bersabda :”Ambillah seperca kain (yang telah diolesi
dengan wangi-wangian) dari daun kasturi, maka bersihkanlah dengannya”.Wanita
tersebut bertanya lagi, “Bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda,
“Bersihkanlah dengannya”. Wanita itu masihbertanya lagi, “Bagaimana
(caranya)?”, Nabi bersabda, Subhan Alah, hendaklah kamu bersihkan “. Maka
Aisyah, istri Nabi berkata : “ Wanita itusaya tarik kearah saya dan saya
katakan kepadanya, ‘Usapkan seperca kain itu ketempat bekas darah”.
Meskipun sunnah diatas berkenaan dengan tuntunan teknis
suatu kegiatan, yaitu cara membersihkan darah bagi wanita yang selesai haid,
sunnah itu bukan kategori fi’liyah, sebab didalamnya tidak terdapat peragaan
Nabi tentang cara mandi bagi wanita yang baru selesai haid. Nabi hanya memberi
tuntunan tentang bagaimana caranya mandi setelah haid itu melalui sanadnya.
Ketiga,
sunnah qauliyah dikemukakan oleh Nabi sebab tertentu yang mendorongnya
menyampaikannya yang berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ketika Rasulullah
mengangkat seorang pejabat pengumpul zakat (‘amil), misalnya, saat pejabat itu
selesai melaksanakan tugasnya, dia datang kepada Nabi dan berkata, “Rasulullah,
ini untuk Engkau dan ini hadiah yang diberiak orang kepada saya”. Maka Nabi
bersabda kepada pejabat itu, “Mengapa kamu tidak duduk saja dirumah ayah dan
ibumu sehingga kamu dapat melihat, apakah dengan demikian kamu juga akan
memperoleh hadiah atau tidak?”.
Dengan kondisi diatas, malah harinya setelah isya’
mendorong Nabi berpidato di depan orang banyak. Nabi bersabda yang artinya :
“Adapun
sesudah itu, bagaimanakah halnya, bial seorang pejabat yang kami serahi tugas
kalau dia datang melapor kepada kami seraya berkata: “Ini adalah hasil tugas
yang berasal dari Anda, sedang ini adalah bagian yang dihadiahkan kepada saya”.
Mengapa dia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya, sehingga dia dapat
melihat apakah dia akan diberi hadiah (oleh orang) ataukah tidak. Demi Allah
yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tiadalah seseorang dari kalian
melakuakan suatu penghianatan (korupsi), kecuali nanti pada hari kiamat dia
akan memikul beban dilehernya. Jika (yang dikorupsi) adalah seekor unta, maka
orang itu datang dengan suara unta; jika (yang dikorupsi) adalah seekor sapi,
maka orang itu datang dengan melenguh seperti sapi; bila (yang dikorupsi)
adalah seekor kambing, maka orang itu datang dengan mengembek. Sungguh (hal
ini) telah kusampaikan kepada kalian.”
Nabi menyampaikan ucapannya dihadapan orang banyak.
Perkataan Nabi itu disampaikan sebagai teguran terhadap seorang petugas yang
telah melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
Keempat,
pada umumnya, sunnah dalam bentuk sabdatidak disertai dengan sebab tertentu.
Nabi bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorongnya untuk menyampaikan
sunnah. Sunnah seperti ini disampaikan oleh Nabi dalam rangka menyampaikan
ajaran Islam sebagai tugas risalahnya meskipun tidak ada yang melatarbelakangi
kemunculan sunnah dimaksud. Misalnya, sunnah tentang bacaan ringan yang
dicintai oleh Allah. Dnan menyampaikan sunnah ini, Nbai bermaksud umat agar Islam
melakukannya. Nabi bersabda yang artinya :
“Dua
kata yang ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan (kebajikannya), serta
dicintai oleh Allah Yang Mahapengasih, yaitu (ucapan), “Subhan Allah wa bi
hamdih subhan Allah al-‘Azhim”.
Kelima,
pada umumnya, Nabi tidak menyertakan perintah untuk menulis sabda itu kepada
sahabat tertentu. Nabi hanya bersabda dan seorang atau beberapa sahabat
mendengarnya. Akan tetapi, adakalanya Nabi menyertakan perintah kepada sahabat
tertentu untuk menulis sabda yang ducapkannya itu.
2.2.2
Sunnah yang berupa perbuatan (Fi’liyah)
Dimaksud dengan sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan
yang disandarkan kepada Nabi. Sunnah fi’liyah adalah perbuatan Rasulullah,
seperti shalat lima waktu dengan cara dan rukun-rukunnya, pelaksanaan ibadah
haji, keputusan berdasarkan seorang saksi pengambilan sumpah dari pihak penuduh
yang dilakukan oleh Nabi.[4]
Sunnah tersebut berupa perbuatan Nabi yang menjadi panutan perilaku sahabat
pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
Sunnah yang berupa perbuatan tidak diketahui langsung
dari Nabi tetapi melalui melalui informasi yang disampaikan oleh sahabat.
Ketika Nabi melakukan sesuatu, sahabat menyaksikan perbuatannya kemudian
disampaikan kepada sahabat yang lain. Sunnah fi’liyah mempunyai beberapa
kategori:
Pertama,
sunnah yang berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Nabi
melakukan suatu perbuatan yang disebabkan oleh seorang atau lebih sahabat yang
disebabkan oleh faktor tertentu. Penyebab Nabi berbuat atau bersabda
bermacam-macam.
Kedua,
sunnah fi’liyah yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Sunnah-sunnah yang
berbentuk perbuatan yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu lebih banyak
dibanding sunnah yang disebabkan oleh faktor tertentu. Hal ini dapat dimaklumi,
karena Nabi berbuat tiap hari dan kebanyakan perbuatannya itu terjadi tanpa
didahului oleh sebab tertentu yang menjadi motivasinya. Jumlah sunnah kategori
ini sanagt banyak mencakup segala aktivitas yang Nabi lakukan baik berkenaan
dengan ibadah maupun muamalah, bahkan berita tentang doa-doa Nabi juga
merupakan sebagian dari sunnah fi’liyah. Misalnya : “Do’a yang paling banyak
dilakukan Nabi SAW. adalah Allahumma atina fi al-dun-ya hasanah wa fi
al-akhirah hasanah waqina ‘adzab al-nar”. (ahr. Muttaffaq ‘alaih)
Sunnah diatas menjelaskan bahwa aktivitas doa yang paling
banyak dilakukan oleh Rasulullah adalah doa tentang permohonan kehidupan yang
sejahtera di dunia dan akhirat, serta terhindar dari sisksa api neraka. Karena
doa ini dilakukan oleh Nabi apalagi secara berulang kali, maka dapat dinilai
sebagai perbuatan Nabi.
Ketiga, sunnah yang berupa perbuatan yang dilakukan dihadapan
orang banyak. Sebagaimana diinformasikan oleh ‘Aisyah, pada suatu malam
Rasulullah shalat dimasjid. Lalu orang-ornga ikut shalat bersama Nabi. Pada
malam berikutnya, Nabi shalat lagi dimasjid. Orang-orang yang ikut shalat
bersma Nabi pun semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat,
orang-orang berkumpul lagi untuk melakukan shalat jemaah dengan Rasulullah,
akan tetapi Rasulullah tidak keluar dari kediamannya. Pada waktu subuh,
Rasulullah bersabda yang artinya :
“sesungguhnya saya telah melihat apa yang kalian lakukan.
Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi saya untuk keluar menjumpai kalian,
terkecuali saya sesungguhnya khawatir kalian akan menyangka bahwa shalat malam
tersebut diwajibkan atas kalian.”
Sunnah diatas, meskipun sebagiannya adalah sunnah
qauliyah, sberupa sunnah fi’liyah tentang tindakan Nabi tiga maam melakukan
shalat Tarawih bersama tetapi kemudian Nabi tidak melakukannya karena khawatir
shalat tarawih itu disangka wajib oleh kaum muslimin. Sunnah yang demikian
disampaikan di depan banyak sahabat yang melaksanakan shalat dimasjid. Praktik
Nabi mulai hari pertama, hingga hari keempat pada bulan Ramdhan tersebut
menunjukan bahwa betapa Nabi berbuat demikian tidak bermaksud mengajak (dakam
arti mewajibkan) umat Islam melakukan shalat Tarawih, sebab pada esensinya
shalat Tarawih adalah shalat sunnah sebagaimana shalat sunnah yang lain. Hanya
karena pelaksanaannya pada bulan Ramadhan, maka shalat itu menjadi istimewa dan
Nabi tidak menghendaki shalat itu disebut wajib.
Keempat, sunnah yang berupa perbuatan yang dilakukan
dihadapan satu atau beberapa orang saja. Diantara contoh sunnah fi’liyah
kategori ini adalah sebuah hadis tentang cara shalat Nabi di atas kendaraan,
yang berbunyi :
كان
النبي صلى الله عليه وسلم يصلي على را حلته حيث ما تو جهت به (لاواه التر مذى)
Artinya : “Nabi shalat diatas tunggangannya, kemana saja
tunggangannya itu meghadap.”[5]
Aktifitas sebagaimana dikandung oleh hadis di atas
dilakukan oleh Rasulullah di depan beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti
Nabi dalam perjalanan, tidak dilakukan Nabi di depan khalayak ramai seperti
halnya khutbah.
2.2.3
Sunnah Taqririyah
Tidak semua materi sunnah secara utuh berasal dari Nabi,
baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagimana adalah perkataan atau
perbuatan sahabat, baik yang dilakukan di depan Nabi atau sebelum iti yang
kemudia dikonfirmasi pada Nabi. Sunnah seperti ini disebut dengan sunnah
taqririyah, yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang
atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Sunnat taqririyah bisa terjadi
apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi
beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.[6]
Sunnah taqririyah adalah penetapan Nabi atas ucapan atau
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat; dengan diam atau tidak ada
penolakan persetujuan, atau anggapan baik dari beliau. Sehingga penetapan dan
persetujuan itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri.[7]
Seperti riwayat: Dua orang sahabat pergi melakukan perjalanan, ketika waktu
sholat mereka tidak mendapatkan air, maka mereka bertayamum dan melakukan
sholat. Sesaat kemudian mereka mendapatkan air, maka salah seorang dari mereka
mengulang sholat, sedang yang lain tidak. Ketika mereka menceritakan kejadian
itu kepada Nabi, beliau membenarkan apa yang diperbuat oleh keduanya. Beliau bersabda kepada yang tidak
mengulang sholatnya, “Engkau telah melaksanakan sunnah dan sholatmu sudah
cukup,” dan bersabda kepada yang mengulang, “Engkau mendapat pahala dua kali”.
Juga seperti riwayat: Ketika Nabi mengutus Mu’adz bin
Jabal ke Yaman, Nabi bertanya, “Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum?”
Mu’adz berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah (Al Quran), bila tidak
kutemukan, maka dengan sunnah Rasulullah, bila tidak aku temukan maka aku
berijtihad dengan pendapatku.” Maka Rasulullah menyetujuinya dan bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan
Rasulullah atas apa yang ia relakan.”
Pada hadis lain yang berupa persetujuan disebutkan bahwa
Rasul membiarkan para sahabat memakan daging biawak, akan tetapi Nabi sendiri
tidak memakan daging tersebut dan tidak mengharamkannya. Meskipun Nabi tidak
makan daging biawak tidak menunjukkan bahwa daging itu haram, sebab ia
membiarkan sahabat makan daging itu tanpa menegur mereka.
ص
اللهِ رَسُوْلِ مَعَ الْوَلِيْدِ بْنُ خَالِدُ
وَ اَنَا دَخَلْتُ:قَالَ عَبَّاسٍ بْنِ اللهِ
عَبْدِ عَنْ
ص
الرَسُوْلُ اِلَيْهِ فَاَهْوَى مَحْنُوْذٍ، بِضَبّ فَاُتِيَ مَيْمُوْنَةَ، بَيْتَ
اَخْبِرُوْا
مَيْمُوْنَةَ بَيْتِ فِي اللاَّتِي النّسْوَةِ بَعْضُ فَقَالَ
بِيَدِهِ،
يَدَهُ،
ص اللهِ رَسُوْلُ فَرَفَعَ يَأْكُلَ، اَنْ يُرِيْدُ بِمَا
ص اللهِ رَسُوْلَ
بِاَرْضِ
يَكُنْ لَمْ لكِنَّهُ وَ لَا،:قَالَ
اللهِ؟ رَسُوْلَ هُوَ اَحَرَامٌ فَقُلْتُ
رَسُوْلُ
وَ فَاَكَلْتُهُ فَاجْتَرَرْتُهُ:خَالِدٌ
قَالَ.اَعَافُهُ
فَاَجِدُنِي قَوْمِي
1543 :3 مسلم.يَنْظُرُ ص
“Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata,
“Saya dan Khalid bin Walid bersama-sama dengan Rasulullah SAW datang ke rumah
Maimunah, lalu ia hidangkan kepada kami daging dhabb yang telah dibakar,
Rasulullah SAW lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil daging tersebut,
tiba-tiba sebagian dari wanita yang berada di rumah Maimunah berkata,
“Beritahukanlah dulu kepada Rasulullah SAW hidangan yang akan beliau makan”. Karena itu Rasulullah SAW
lalu menarik tangannya. Lantas saya bertanya, “Apakah daging tersebut haram
wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Tidak, tetapi karena ia tidak ada di
negeri kaumku, maka saya merasa jijik untuk memakannya”. Khalid berkata, “Lalu
saya ambil daging tersebut dan saya makan, sedangkan Rasulullah SAW melihat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1543]”
Taqrir (pengakuan) Nabi dapat terjadi, misalnya
Nabi berdiam diri tidak mengingkari (membantah) sesuatu perkataan yang
diucapkan atau sesuatu perbuatan yang diperbuat dihadapan Nabi atau pada masa
hidupnya, sedang Nabi mengetahui perkataan dan perbuatan tersebut.[8]
Jadi, materi dalam hadis kategori ini bukan dari Nabi
melainkan dari para sahabat yang kemudian disetujui oleh Nabi. Sikap Nabi yang
demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalllil taqriri, yang
dapat dijadikan hujjah dan/atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan
hukum. Karena pada dasarnya, seandainya Nabi tidak menyetujui perbuatan itu,
niscaya Nabi menolak atau melarangnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian
Sunnah menurut Ahli Ushul adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungn dengan hukum syara’,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Dari definisi tersebut
maka Sunnah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Sunnah Qauliyah, yakni perintah, keterangan atau
penjelasan khusus yang berbentuk kata-kata atau yang disebut dengan sabda Nabi
SAW.
2.
Sunnah Fi’liah, yakni perintah penjelasan atau
keterangan khusus yang berbentuk perbuatan-perbuatan atau tindakan yang nyata
dilakukan Nabi.
3.
Sunnah Taqririyah, yakni persetujuan Nabi dengan
cara diam. Seperti perkataan atau perbuatan para sahabat yang dilakukan
dihadapan Nabi, atau sepengetahuan Nabi, sedangkan Nabi tidak menyalahkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya
Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media
Group,2010
Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 1981
Idri, Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGarfindo
Persada, 2010
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu
Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Kuwait: Darul Qalam, 1977
Djazuli, Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010
[2] Hadis ini no 20.608 dalam
Musnad Imam Ahmad, dengan sanad dari Yahya ibn Sa’id, dari Su’bah, dari Umay
ibn Sulaiman,dari Abdurrahman ibn Aban ibn Utsman, dari bapaknya yang menerima
hadis inidari Zaid ibn Tsabbit.
[5] Hadis nomor 320 dalam
Sunan Al-Tirmidzy dengan kualitas hasan shahih, dengan sanad dari Sufyan ibn
Waqi’, dari Abu Khalid Al-Ahmar, dari Ubaidillah ibn Umardari Nafi’, dari Ibn
Umar.
[6] A Djazuli, Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010), hal. 68
0 komentar:
Posting Komentar